Candi Muara Takus , Riau |
Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs Candi Budha yang terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74
meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di
luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer,
mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs
candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad keempat, ada yang
mengatakan abad ketujuh, abad kesembilan bahkan pada abad kesebelas.
Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.
Deskripsi situs
Candi Muara Takus adalah situs candi tertua di Sumatera,
merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah yang berbentuk candi
di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Budha pernah berkembang di kawasan ini.
Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa,
yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan
pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah
desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Cinta, Pong berati lubang dan Kai
berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan
oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang
galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar,
berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian
kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat
bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa
Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi
ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan
(bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis
bangunannya.
Candi Mahligai
Candi Mahligai |
Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang
dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki,
badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang
dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi
alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan.Pada bagian
alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda,
dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36
sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya.
Bagian atas dari
bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger,
dahulu pada ke-empat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi
duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Yzerman,
dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan
relief-relief sekelilingnya.
Bangunan ini diduga mengalami dua tahap
pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki
bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum
bangunan diperbesar.
Beraksi di Candi Mahligai |
Candi Tua
Candi Tua |
Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara
bangunan lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi
dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai
ketinggian 1,98 m.Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur
yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan
4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran
dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan
candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi
yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah
bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi
Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir
yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan,
pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki
candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian
atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini
paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai
hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh
dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
Beraksi di Candi Tua |
Candi Bungsu
Candi Bungsu |
Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya
saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat
Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur
terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat
dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah
bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian
yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di
pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut
didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di
dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf
Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi
bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula
dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut
jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara
terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan
terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk
profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa
bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun
kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
Beraksi di Candi Bungsu |
Candi Palangka
Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan
ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi
ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke
arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.
Arsitektur
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang
ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan
bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari
seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk
setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak
meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah
bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme
lainnya. Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu :
- Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
- Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
- Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di
kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang
berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan
lengkap.
Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik
karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini
memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Langka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.
Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi
yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau
aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama
Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Budha,
hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai
‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang
Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras
di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara lain :
- Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
- Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
- Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
- Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.
Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang
memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi
Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi
tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat sudut
pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal
dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari
pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau
baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga
bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis
yang terdiri dari biara dan beberapa candi.
Latar Belakang Pendirian
Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu budha.
Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama
Hindu maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India
sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama
dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep
tentang air suci.
Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu
nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak
hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga
diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup
bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang
tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang
potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para
seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat
dimana akan didirikan bangunan tersebut.
Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmastana serta keempat titik mata angin dimana dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah
tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam
nyata. Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah
tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara berlangsung,
karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut.
Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi
kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau
tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep
kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai
tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar
dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci
tempatnya selalu berada di dekat air.
Keadaan geografis wilayah Sumatera yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung konsep dari
kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut
air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain
faktor air, faktor ekonomi
juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran
sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk
perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun
lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka
mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat
peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena
tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung
masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut.
Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada
umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk
digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku
ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi,
berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.
Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang
berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang
dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan
tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.
Beberapa Aspek Dalam Pendirian Candi
Dari suatu bangunan candi kita dapat melihat beberapa aspek
kehidupan. Pada candi Muara Takus ini aspek-aspek yang dapa kita lihat
antara lain:
- Aspek teknologi: Bahan yang digunakan adalah batu bata. Ukuran bata yang dipakai membangun candi ini bervariasi, panjang antara 23 sampai 26 cm, lebar 14 sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya 3,5 cm sampai 4,5 cm. Bata pada masa lampau memiliki kualitas yang lebih baik dari bata pada masa sekarang. Ini dikarenakan tanah liat yang digunakan disaring sampai benar-benar tidak ada komponen lain selain tanah liat, misalnya pasir. Selain itu, terdapat ”isian” di dalam bata, biasanya berupa sekam. Maksud dari isian ini, supaya bata kuat. Perekatan antar batu bata menggunakan sistem kosod. Sistem kosod merupakan sistem perekatan bata dengan cara menggosokkan bata dengan bata lain dimana pada bidang gosokannya tersebut diberi air. Sistem ini juga dapat ditemukan pada situs-situs di Jawa Timurdan masih dapat ditemukan di daerah Bali. Perekatan bata yang menggunakan sistem kosod menyebabkan perekatan antar bata akan bertambah erat dari tahun ke tahun.
- Aspek sosial: Pembangunan candi ini dilakukan secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai. Begitu juga pada saat upacara pemujaan terdapat perbedaan status, yaitu pemimpin upacara dan pengikutnya.
- Aspek religi: terlihat dari bentuk candi Muara Takus yang berupa stupa, yang menunjukkan candi ini sebagai tempat pemujaan umat agama Buddha, khususnya aliran Mahayana.
Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Muara_Takus
* All Photo by rorokara.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar