Di awal tahun 2013 ini fenomena De Javu hampir setiap hari kurasakan. Aku tidak tau, tetapi sepertinya aku pernah merasakan berbagai kejadian sudah pernah terjadi sebelumnya. Misalnya suatu peristiwa, perasaan hati, dll. Dulu sewaktu kecil sebelum mengenal istilah De Javu, ada suatu tempat yang setiap kali melewatinya, aku selalu bilang dalam hati :" Sepertinya aku pernah ke sini, dan ada suatu perasaan misterius yang sulit untuk dijelaskan, seperti bahwa aku pernah hidup di kehidupan sebelum sekarang, aneh memang!". Namun terkadang setelah merasakan fenomena De Javu ada berbagai effect yang ku rasakan , seperti bahagia yang tidak terkira, sedih, merasa bersalah, dll, tergantung kejadian " De Javu " yang terjadi saat itu.
Setelah menonton Film De Javu yang dibintangi oleh Denzel Washington bertahun-tahun yang lalu dan membaca artikel tentang De Javu, aku menyadari bahwa fenomena De Javu adahal hal wajar yang pasti pernah dialami oleh setiap orang.
Déjà vu adalah sebuah frasa Perancis dan artinya secara harafiah adalah "pernah lihat / pernah merasa".
Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami
sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya ialah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan".
Menurut para pakar, setidaknya 100% penduduk bumi pernah mengalami
fenomena ini. Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan
deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang
sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya.
Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi,
percakapan yang sedang dilakukan, sudut pandang saat melihat sesuatu,
atau sebuah acara TV yang sedang ditonton.
Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat
benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu
terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius
yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu
Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori
metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya
adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari
kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu
kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan
ilmu psikologi sendiri?
Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif yang berhubungan erat.
Pada awalnya anda membaca teks ini , beberapa ilmuwan beranggapan
bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah
mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang
sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan
perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali
dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini
dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang
butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan
perabaannya.
Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds,
Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang
sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak
pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa
telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka
bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya
karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan
hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau
delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak
dan ingatan kita.
Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi
pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu
Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang
tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang
berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan
ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika
menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda
visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra
untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang
cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan
dicatat untuk pembandingan di masa depan.
Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti
manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa
situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate
gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam
membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya,
dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring
bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti
Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat
kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’
atau ‘lama’.
Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap
misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak
dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta
partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam
kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus
menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat.
Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan
kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk
dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan
yang mirip deja vu.
Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern
University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang
memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar,
namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama
sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para
partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar
tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata
gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim
benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika
secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau
mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.
LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin
dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui
hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan
daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’
kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar
kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang
serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa
yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini
terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu
kerjanya oleh hipnosis. Hipnotis inilah yang disebut fachminisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar